Kali ini kita akan berbagi mengenai :

Pembangunan Busway dalam Mengatasi Kemacetan Lalu Lintas di Jakarta dan Peranan Polri di Dalamnya


I. PENDAHULUAN

Kemacetan kota Jakarta saat ini menjadi keluhan hampir seluruh penduduk kota Jakarta. Sebagai gambaran, seorang warga Pamulang, Tangerang Selatan harus berangkat meninggalkan rumah sebelum pukul 06.00 WIB agar dapat tiba di kantornya di Jalan Jendral Sudirman Jakarta Pusat sebelum pukul 08.00 WIB. Jika dia berangkat sesudah pukul 06.20 WIB saja, maka perlu waktu selama 3 (tiga) jam untuk menempuh perjalanan sejauh 27 Km ke kantornya tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena jumlah pertumbuhan kendaraan tidak sesuai dengan jumlah pertumbuhan ruas jalan di Jakarta. Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta 2008 menunjukkan, pertambahan jumlah sepeda motor sekitar 1.500 unit per hari dan jumlah mobil bertambah 250 unit per hari.Sedangkan total panjang jalan di DKI Jakarta mencapai 5.621,5 kilometer dan hanya bertambah 0,01 persen per tahun.

Menurut Andrinof Chaniago, seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia kemacetan lalu lintas di Jakarta menyebabkan kerugian Rp. 43 trilliun per tahun. Kerugian ini bersumber pada berbagai belanja tambahan yang harus dilakukan oleh masyarakat karena kemacetan lalu lintas, diantaranya adalah belanja onderdil yang meningkat, pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM), serta timbulnya penyakit fisik dan psikis seperti Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) ataupun depresi.

Untuk mengatasi masalah kemacetan di Kota Jakarta tersebut, pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan Kebijakan Transpotasi umum berupa Busway yang mulai beroperasi sejak 15 Januari tahun 2004. Kebijakan pembangunan Busway ini diharapkan dapat membantu mengurangi tingkat kemacetan di kota Jakarta. Kendaraan umum busway ini didesain senyaman mungkin, sehingga diharapkan dapat menarik minat para pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke transporatasi umum busway, sehingga jumlah kendaraan pribadi di jalanan Jakarta dapat berkurang. Sampai saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membangun 15 koridor busway yang siap beroperasi.

Pada pelaksanaannya, sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada masyarakat, maka kelancaran program Busway ini tidak dapat hanya diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saja, harus ada sinergi dengan Kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pelayanan kepada masyarakat.Dalam hal ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan Lalu lintas antara lain dalam bentuk registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan pengemudi, penegakan hukum, operasional manajemen rekayasa lalu lintas, serta pendidikan lalu lintas.

II. PERMASALAHAN

Setelah kurang lebih 7 tahun pengoperasian busway di Jakarta, pada perkembangannya justru banyak menimbulkan efek negatif bagi para pengguna jalan raya di Jakarta. Kita ambil contoh saja semenjak dioperasikannya jalur khusus bus transjakarta koridor IX atau sebut saja busway IX jurusan Pinang Ranti (Jakarta Timur)-Pluit (Jakarta Utara), kemacetan lalu lintas di Jalan Gatot Subroto-S Parman, khususnya ruas Semanggi-Slipi-Tomang justru menjadi sungguh luar biasa. Jam-jam kemacetan justru bertambah parah. Kalau biasanya kemacetan terjadi hanya pada saat jam-jam puncak yaitu pagi dan sore, sekarang malah terjadi sepanjang hari.Berkembangnya penilaian masyarakat tentang kemacetan yang ditimbulkan oleh busway mengakibatkan semakin berkembang pula opini bahwa kebijakan Busway adalah kebijakan yang gagal. Apalagi ditambah banyaknya juga korban berjatuhan akibat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan Busway di Jakarta.

Dalam catatan Traffic Management Centre Polda Metro Jaya, kecelakaan lalu lintas yang melibatkan busway adalah sebagai berikut : pada tahun 2004 terjadi 5 kecelakaan, tidak terdapat korban, tapi kerugian materi mencapai Rp. 5.500.000. Tahun 2005 terdapat 13 Kecelakaan, 8 korban dan kerugian materi Rp. 39.000.000. Tahun 2006 terdapat 31 kecelakaan dengan 28 korban dan kerugian materi Rp34.400.000. Sedangkan tahun 2007 terjadi 66 kecelakaan dengan 72 korban dan kerugian materi Rp. 94.400.000. Dari data tersebut, dapat disimpulkan dari tahun 2004-2005 terjadi kenaikan sebesar 160% kecelakaan, dari tahun 2005-2006 kenaikan sebesar 138 %, tahun 2006-2007 peningkatan sebesar 35 %. Jika dibandingkan dari tahun 2004 -November 2007 terjadi peningkatan sebesar 1.220%.

Dari data tersebut diatas, terlihat jelas bahwa terdapat suatu permasalahan besar dalam penerapan kebijakan publik ini. Busway yang awalnya diusung dan diharapkan memecahkan salah kemacetan di Jakarta yang sudah sangat meprihatinkan, justru berbalik menjadi salah satu faktor pemicu kemacetan tersebut, ditambah lagi malah menambah masalah dengan semakin banyaknya korban yang berjatuhan akibat kecelakaan yang melibatkan Busway.

Permasalahan kecelakan lalu lintas tersebut sebenarnya juga bersumber pada sulitnya menjaga agar jalur busway tetap steril dari kendaraan lain non busway. Pada awal Januari 2011 saja, tercatat 2.278 pengendara ‘nakal’ ditilang karena menggunakan jalur busway.

III. PEMBAHASAN

Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dipilih dan dialokasikan secara sah oleh pemerintah/negara kepada seluruh anggota masyarakat yang mempunyai tujuan tertentu demi kepentingan publik. Kebijakan ini muncul akibat adanya kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan manusia yang tidak dapat diatasi secara pribadi (privat), sehingga harus ditangani secara sistematis, struktural, dan serius oleh pemerintah bersama dengan masyarakat.

Proses munculnya kebijakan pembangunan Busway sebagai salah satu upaya mengurangi kemacetan lalu lintas di Jakarta diawali dengan besarnya tekanan publik kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurangi tingkat kemacetan di jalan-jalan Kota Jakarta. Kemudian tekanan publik ini diterima oleh pemerintah dan dikonversi menjadi sebuah kebijakan yang kembali mengatur publik dengan harapan kemacetan lalu lintas dapat teratasi.

Seiring dengan berjalannya waktu, kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut seharusnya sudah mampu mengatasi persoalan kemacetan di Jakarta. Tetapi pada kenyataannya, justru timbul permasalahan-permasalahan baru semenjak diterapkannya kebijakan itu.

Menurut Smith (1973) dalam model prosesnya, pembentukan kebijakan yang ideal dapat berhasil diterapkan jika didukung oleh 3(tiga) faktor utama, yaitu organisasi yang menerapkannya (implementing organization), kelompok yang menjadi target kebijakan tersebut (target group), serta faktor-faktor lingkungan (environmental factors) nya. Salah satu saja dari faktor tersebut tidak memenuhi, maka tidak akan tercapai suatu kebijakan ideal yang dapat terlaksana.

Dari apa yang disampaikan oleh Smith (1973) mengenai model proses pembentukan kebijakan publik, maka dalam kaitannya dengan penerapan Busway sebagai salah satu kebijakan publik Pemprov DKI Jakarta dapat kita urai satu persatu.

Yang pertama kali kita harus perhatikan adalah, apakah organisasi yang bertugas untuk menerapkan kebijakan penggunaan busway sudah siap untuk melakukan tugasnya dengan baik? Dalam hal ini, organisasi tersebut adalah Badan Layanan Umum Transjakarta dan POLRI. Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengelola layanan angkutan umum massal dengan menggunakan moda bus. Dalam perkembangannya, ternyata sampai saat ini pelayanan BLU Transjakarta justru semakin memburuk, terutama headway yang semakin tidak menentu. Layanan Transjakarta menjadi tidak dapat diandalkan oleh masyarakat umum karena tidak tetapnya waktu keberangkatan bus, sehingga sering terjadi keterlambatan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa BLU Transjakarta belum siap dalam menerapkan kebijakan Busway di Jakarta.

Di sisi lain, untuk menjaga kesterilan jalur busway dari kendaraan non Busway, POLRI mengklaim telahmenerjunkan 2.500 personel untuk mengamankan semua koridor jalur Busway dari para pengendara kendaraan bermotor yang nekad menerobos masuk ke dalam jalur Busway. Walaupun hasilnya masih saja banyak kendaraan lain selain busway yang nekat menerobos masuk ke dalam jalur busway.

Faktor selanjutnya yang menentukan keberhasilan kebijakan Busway ini adalah kesiapan masyarakat sebagai kelompok sasaran (target group) diluncurkannya kebijakan ini. Sebenarnya banyak sekali faktor yang dapat mendorong masyarakat jakarta untuk beralih dari kendaraan pribadi ke Busway, diantaranya harga BBM yang terus melinjak dan kemacetan kota Jakarta yang semakin parah. Hal ini terlihat dari data YLKI bahwa diketahui hingga 2008, jumlah pengguna kendaraan pribadi yang beralih ke busway mencapai 21 persen dari 5,7 juta pengguna kendaraan pribadi di DKI Jakarta. Artinya, selama fasilitas yang disiapkan pemerintah untuk pelayanan Busway terpenuhi, maka masyarakat akan besar kecenderungannya untuk meninggalkan penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke Busway untuk keperluan transportasi sehari-harinya.

Faktor selanjutnya yang harus kita bahas adalah kesiapan sarana dan prasarana (environmental factors) busway bagi masyarakat Jakarta. Salah satu hal yang paling dikeluhkan oleh pengguna busway selama ini adalah masalah waktu tunggu bus yang lebih dari lima menit. Hal ini diungkapkan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Hasil survei mereke menyatakan bahwa sebanyak 41,4 persen responden mengeluhkan waktu tunggu di halte sebagai pengalaman negatif saat menggunakan Bus Transjakarta.

Sebanyak 26,92 responden juga mengeluhkan angkutan massal ini sering over kapasitas. Mereka juga menganggap kondisi ini membuat kejahatan di Bus Transjakarta meningkat. Dengan hasil ini, menurut YLKI hal yang mendasar agar kualitas pelayanan Bus Transjakarta maka yang perlu ditingkatkan pada aspek infrastruktur, SDM dan proses bisnis.

Sementara dari pihak Badan Layanan Umum (BLU) mengungkapkan bahwa antrean calon penumpang di halte dan berjubelnya penumpang di dalam bus Transjakarta bukan karena kurangnya armada, melainkan karena adanya antrean bus saat mengisi gas dan belum sterilnya busway dari angkutan non Transjakarta. Antrean bus saat mengisi gas menggambarkan kurang siapnya sarana dan prasarana bus, sedangkan tidak sterilnya jalur busway dari angkutan non-transjakarta menggambarkan kesadaran masyarakat yang kurang dan juga penegakkan hukum oleh kepolisian masih belum dapat menertibkannya.

IV. KESIMPULAN
Dari analisa yang dilakukan oleh penulis berdasarkan 3 (tiga) faktor yang dapat mewujudkan kebijakan yang ideal, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Faktor organisasi yang menerapkan (implementing organization) kebijakan busway yaitu BLU dan Polri masih belum siap.

2. Faktor kelompok yang menjadi target (target group) sudah siap dan sangat berharap dengan pelayanan yang baik dalam menggunakan busway.

3. Faktor sarana dan prasarana (environment factors) juga masih belum memadai.

Sehingga jika kita masukkan ke dalam teori model proses Smith, maka dengan kondisi seperti ini tidak akan terwujud kebijakan publik yang ideal.

V. SARAN

Ada beberapa saran yang dapat penulis ajukan beradasarkan analisa yang telah dibuat sebelumnya untuk membantu memperbaiki kebijakan penerapan busway ini supaya dapat menjadi sebuah kebijakan publik yang ideal, antara lain:

1. Tambah jumlah armada busway.

2. Perbanyak SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas) khusus untuk busway.

3. Lakukan sterilisasi jalur busway oleh Polri secara konsisten.

4. Lakukan perawatan dan perbaikan sarana dan prasarana pendukung Busway secara rutin.

Semoga dengan adanya beberapa saran dari penulis dapat membantu menyelesaikan masalah busway ini.

(M. SANDHI SATYATAMA)

1 komentar:

Terima kasih atas pertanyaan, saran, serta kritik yang membangun dari rekan-rekan.


Hormat kami,

Keluarga besar Tatag Trawang Tungga

Cari materi mengenai...